Jakarta, Suaraperjuangan.id - Eksistensi bukti elektronik sebagai alat bukti yang sah di persidangan masih menimbulkan beberapa pertanyaan. Oleh karenannya, perlu pemahaman yang memadai dan seragam dari Aparat Penegak Hukum (APH) tentang alat bukti elektronik.
Hal tersebut diungkapkan Deputi Bidang Informasi dan Data KPK Mochamad Hadiyana dalam Workshop bertajuk “Bukti Elektronik: Penanganan dan Pemanfaatannya di dalam Penanganan Perkara TPK dan/atau TPPU,” bertepatan dengan rangkaian kegiatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) Tahun 2022 di Jakarta, Sabtu (10/12).
Dalam sambutannya, Hadiyana menjelaskan bahwa pemanfaatan bukti elektronik untuk mengungkap suatu kejahatan terus mengalami peningkatan. Namun, masih sering dipertanyakan mengenai prosedur penanganan, cara menjaga kerahasiaan, kaitan dengan perkara lain, dan proses eksekusi dari bukti elektronik itu.
“Sering ditemukan pertanyaan, bagaimana bukti elektronik dapat jadi alat bukti petunjuk yang sah di persidangan. Sehingga memberi keyakinan hakim dalam menjatuhkan putusan. Dari itu, KPK berinisiatif mengadakan workshop bukti elektronik, dengan menghadirkan narasumber yang ahli di bidang penanganan bukti elektronik ini,” kata Hadiyana.
Hadiyana berharap, dengan workshop ini, maka pertanyaan-pertanyaan tersebut dapat dijawab dan terbangun pemahaman bersama para Aparat Penegak Hukum dalam menangani bukti elektronik.
“Workshop ini menghadirkan peserta semua pihak yang terkait bukti elektronik baik dari internal maupun eksternal KPK, dengan total peserta 70 orang. Terdiri dari Kejaksaan Agung 10 peserta, Polri 10 peserta, BPK 5 peserta, BPKP 5 peserta, dan instansi terkait lainnya,” ujar Hadiyana.
*Penanganan BBE di Berbagai APH*
Sementara itu, Kepala Laboratorium Barang Bukti Elektronik (LBBE) KPK Hafni Ferdian mengungkapkan signifikannya pemanfaatan bukti elektronik untuk mengungkap modus korupsi yang menggunakan instrumen digital.
“Bukti elektronik sangat penting dalam pembuktian tindak pidana korupsi, terutama suap. Karena pemberi dan penerima buktinya dari bukti elektronik. Lalu, dari penyadapan, kita juga perlu bukti elektronik sebagai bukti petunjuk. Dalam satu kasus saja minimal 10 perangkat kita tangani, belum kasus besar, bisa lebih,” ujar Hafni.
Untuk memenuhi kebutuhan itu, sambung Hafni, pihaknya terus mengembangkan sumber daya manusia maupun perlengkapan penanganan bukti elektronik di LBBE KPK. Termasuk dengan memberikan pelatihan secara rutin kepada Penyelidik, Penyidik, dan Penuntut Umum KPK untuk bisa menangani bukti elektronik sejak pertama.
“Terbaru, pada 2022, LBBE KPK memenuhi kualifikasi ISO 17025, yang diakui kapasitasnya dalam penanganan bukti elektronik secara internasional, mulai dari penanganan pertama bukti elektronik, akuisisi data, _recovery_ data, analisa untuk pendapat ahli, hingga sterilisasi data,” ujar Hafni.
Hafni-pun menjelaskan, pihaknya selalu menjaga integritas bukti elektronik yang ditanganinya, mulai dari penanganan di lokasi kejadian perkara, eksaminasi, analisis, bahkan hingga persidangan.
“Pihak yang mengakses hasil analisis pun hanya penegak hukum yang memiliki Surat Perintah Penyidikan saja,” ujar Hafni.
Kemudian, Ahli Pusat Laboratorium Forensik Polri Hery Priyanto menyatakan bahwa prinsip dasar penanganan bukti elektronik yaitu integritas data, personel yang kompeten, hasil yang dapat diaudit, dan patuh hukum.
“Maka dari itu, kita selalu lakukan dokumentasi melalui _Chain of Custody_ demi memastikan hasil bukti elektronik terjaga integritasnya. Kita juga selalu meminta ada Berita Acara Sita dan Berita Acara Bungkus dari barang bukti elektronik yang akan dilakukan penanganan,” ujar Hery.
Lebih lanjut, Anggota Pusat Laboratorium Forensik Digital Kejaksaan RI Irwan Purwanto menyebut pihaknya menangani bukti elektronik melalui forensik digital mengacu pada pedoman dari National Institute of Standards and Technology (NIST).
“Kita menangani forensic digital dari seluruh Kejaksaan di Indonesia. Banyak bukti elektronik yang kita tangani, minimal 5 _device_, paling banyak kita pernah 350 _device_,” ujar Irwan.
Perlu dipahami, bukti elektronik merupakan salah satu jenis bukti yang diakui di Indonesia. Berdasarkan Pasal 26A Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, bukti elektronik merupakan alat bukti lain diakui dalam hukum acara di Indonesia. Dengan demikian, keberadaannya memiliki peran penting sebagai dasar hakim menjatuhkan putusan perkara korupsi, sesuai dengan Pasal 183 KUHAP.
Kegiatan yang berlangsung 3 jam ini terdiri dari 2 sesi. Sesi pertama, peserta diberikan pemahaman mengenai digital forensik pada barang bukti elektronik dan ketentuan yang mengaturnya. Kemudian sesi kedua, dilakukan sharing knowledge antara KPK, Kejaksaan, dan Polri dalam penanganan barang bukti elektronik. (SP)
0 Komentar