MEDAN, SUARAPERJUANGAN.ID - Hingga kuartal I tahun 2023 (sampai April 2023), Kejaksaan Tinggi Sumatera Utara telah menghentikan 25 perkara di wilayah hukumnya dengan pendekatan keadilan restoratif setelah sebelumnya dilakukan ekspose perkara di hadapan Jaksa Agung Muda Bidang Pidana Umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung RI Dr. Fadil Zumhana.
Saat dikonfirmasi kepada Kajati Sumut Idianto, SH,MH melalui Kasi Penkum Kejati Sumut Yos A Tarigan, SH, MH bahwa penghentian penuntutan sebuah perkara dilakukan setelah sebelumnya dilakukan ekspose secara berjenjang hingga akhirnya disetujui untuk dihentikan.
Lebih lanjut Yos menyampaikan, bahwa penghentian penuntutan 25 perkara (hingga April 2023) dengan pendekatan restorative justice berasal dari beberapa Kejari dan Cabjari di wilayah hukum Kejati Sumut. Perkara-perkara yang berhasil dihentikan dengan pendekatan keadilan restoratif berpedoman pada Peraturan Jaksa Agung No. 15 tahun 2020 yaitu, tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana, jumlah kerugian akibat pencurian yang dilakukan tersangka di bawah dua setengah juta rupiah, ancaman hukuman dibawah 5 tahun penjara, adanya perdamaian antara tersangka dengan korban dan direspons positif oleh keluarga.
Dari 25 perkara yang dihentikan penuntutannya dengan pendekatan RJ atau keadilan restoratif, lanjut Yos diantaranya ada perkara KDRT, pencurian sawit, penganiayaan dan kejahatan lainnya.
“Penghentian penuntutan dilakukan ketika antara tersangka dan korban ada kesepakatan berdamai dan tersangka menyesali perbuatannya serta berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya lagi. Proses pelaksanaan perdamaian juga disaksikan oleh keluarga, tokoh masyarakat dan tokoh agama serta difasilitasi oleh Kajari, Kacabjari dan jaksa yang menangani perkaranya,” tandasnya.
Yos menambahkan, penghentian penuntutan dengan pendekatan keadilan restoratif ini membuka ruang yang sah menurut hukum bagi pelaku dan korban secara bersama merumuskan penyelesaian permasalahan guna dilakukannya pemulihan keadaan ke keadaan semula, dan masyarakat menyambut positif proses perdamaian ini.
"Ketika tersangka dan korban berdamai, maka sekat yang memisahkan persaudaraan atau rasa dendam dan benci yang tertanam bisa dicairkan agar tidak sampai membeku dan menciptakan permusuhan yang berkepanjangan," kata Yos A Tarigan.(SP)
0 Komentar