PN Kisaran Gelar Sidang Lapangan Perkara Sengketa Lahan, M.Yahya Sebagai Tergugat Dikawal Orang Terdekat Terlihat Cekcok Dengan Warga di Lokasi


Keterangan foto : PN Kisaran melihat Objek Perkara Nomor 67-76 Sengketa Lahan Ganti Rugi oleh PT KAI (Kiri), M. Yahya terlihat cekcok dengan warga yang berada dilokasi (Kanan)

Batubara, Suaraperjuangan.com – Pengadilan Negeri Kisaran menggelar sidang lapangan perkara nomor 67-76 terkait objek ganti rugi oleh PT Kereta Api Indonesia yang menjadi sengketa antara pihak penggugat keluarga Giban. Tergugat bernama M. Yahya (dikenal H.Yahya) mendapat pengawalan orang terdekat usai mencela Hakim Pengadilan Negeri Kisaran di Jalan Access Road Kuala Tanjung, Desa Kuala Tanjung, Kec. Sei Suka, Kab. Batubara terlihat ricuh, Jum'at (24/1/2025).

Pantauan wartawan dilokasi tempat digelarnya sidang lapangan, pihak tergugat M. Yahya yang didampingi kuasa hukumnya terlihat terlibat cekcok dengan penggugat dan warga, dimana penggugat terlihat fokus dalam sidang lapangan.

Sebelumnya, M. Yahya bersiteru dengan warga bernama Yusri yang menempati salah satu rumah yang menjadi objek perkara. Ia mengakui bahwa rumah yang ditempati oleh Yusri tersebut merupakan miliknya.

Setelah di konfirmasi, Yusri mengaku bahwa tanah dan bangunan tersebut bukan milik M. Yahya melainkan punya seseorang bernama Supri bersempadan dengan keluarga Giban, bukan dengan M.Yahya. Ia mengaku mendirikan bangunan tersebut dengan uang miliknya dan sudah menempati bangunan tersebut lebih dari 25 tahun dengan ijin Supri.

"Ini rumah milik saya bukan miliknya (H. Yahya,red), saya menumpang sama Supri, saya yang bangun rumah ini memakai uang saya, itu pun masih hutang," beber Yusri.

Hakim Ketua di Pengadilan Negeri Kisaran Erseyanda Prima saat dikonfirmasi menyampaikan kepada media bahwasannya kegiatan yang dilakukan pemeriksaan setempat atas perkara nomor 67 sampai 76 untuk objek yang di sengketakan.

"Kami disini untuk melihat objek yang di sengketakan tidak menilai siapa yang berhak atas objek perkara tersebut," ungkapnya.

Lanjutnya, masih ada tahap pembuktian antara kedua belah pihak siapa yang secara sah menurut hukum atas tanah dan bangunan yang menjadi ganti rugi oleh pihak KAI atas pembangunan rel di  wilayah tersebut.

Masih ditempat yang sama, Dodi Arisona kuasa hukum dari M. Yahya saat dikonfirmasi terkait adanya informasi bahwa H. Yahya telah mengaku-ngaku tanah yang menjadi objek perkara merupakan miliknya seluruhnya. Namun, melalui kuasa hukumnya saat sidang lapangan menyatakan bahwa hanya sebagian tanah saja yang digugat oleh penggugat merupakan milik H. Yahya.

"Awal mulanya pada intinya kita mengakui juga bahwa sebagian objek perkara yang digugat oleh penggugat itu milik kita (M. Yahya,red) bukan seluruhnya," ungkap Dodi kuasa hukum H. Yahya.

Dodi juga mengaku bahwa tanah tersebut sudah diukurnya sendiri tanpa menghadirkan pihak dari Badan Pertanahan Nasional (BPN).

"Kita sudah mengukur sendiri terhadap objek tersebut, namun pada saat ini yang hanya menjadi sidang lapangan ini untuk melihat dimana letak objek perkara itu bukan diukur masing-masing pihak yang mengaku objek perkara itu terhadap ganti rugi PT KAI yang dikonsinyasi di Pengadilan Negeri Kisaran," katanya.

Dodi juga mengaku bahwa H. Yahya tidak pernah dipanggil dalam rapat apapun dari pihak Desa maupun PT KAI.

"Dari proses mungkin panitia, mediasi, pemanggilan, pihak kami sama sekali merasa dirugikan yang mana kami tidak pernah dipanggil dalam rapat apapun itu, mau dari desa atau PJKA tersendiri. Kami hanya mendapatkan relase panggilan dari Pengadilan Negeri Kisaran, itu pun kami mengetahui ada pemanggilan di Aula Barokah," beber Dodi mengatakan bahwa mengetahui adanya ganti rugi pihak PT KAI atas pembangunan rel kereta api.

Secara terpisah salah satu keluarga Giban (penggugat) saat diminta tanggapan menjelaskan bahwa selain perdata, sebelumnya dengan perbuatan yang serupa H. Yahya pernah menyandang status tersangka di Polres Batu Bara atas laporan seorang warga bernama Supri ditahun 2022, melalui jalur prapid beliau dibebaskan karena dianggap perdata. 

"Namun, dalam waktu dekat ini kami akan mengajukan kembali ke Polres Batu Bara untuk menggelarnya kembali setelah bukti-bukti baru (novum) lengkap, saat ini sedang dipersiapkan. BPN, PT KAI dan pemerintah Desa dalam proses pembebasan lahan warga untuk jalur kereta api terkait kebutuhan Kawasan Industri Kuala Tanjung (KIKT) sudah sesuai prosedur dan mekanisme yang ditetapkan, yang mana kami selaku warga telah melengkapi persyaratan surat-surat terkait berupa surat alas Hak, Bukti Pajak (PBB) dll., bahkan kami telah menandatangani kesepakatan harga dengan pihak PT KAI dan BPN. Namun saat mau dibayar belakangan muncul seorang bernama H Yahya mengklaim bahwa tanah tersebut miliknya," ucap salah satu keluarga penggugat.

Dari keterangan penggugat, H. Yahya diduga tidak memiliki objek tanah di lokasi yang diklaim di atas tanah milik keluarga giban, karena surat yang di miliki H. Yahya Nomor 49 tahun 1964 tertera atas masih atas nama milik orang tua supri yaitu alm. Siddik bin Dolah (bukan M.Nur, orang tuanya). 

Selanjutnya Tahun 1980, karena lahan tersebut telah dijual kepada pihak lain (Otorita Asahan), Kepala Desa Kuala Tanjung menyesuaikan isi suratnya yang menyebutkan sebelah Utara berbatas dengan Acces Road. 

Kemudian, Tahun 2015 kepala Desa Kuala Tanjung (saat itu Bp Usman) memperbaharui suratnya atas permintaan M.Yahya. Namun, surat 2015 tersebut langsung dibatalkan oleh Kepala Desa Kuala Tanjung karena ternyata belum pernah dilakukan pengukuran.

Telah terjadi Dispute, yang mana hasil sidang lapangan hari ini bersama hakim Pengadilan Negeri Kisaran. Awalnya M.Yahya mengklaim kepada PT KAI objek tanah seluruhnya milik M.Yahya sehingga status tanah versus. 

"Namun, saat sidang lapangan sama-sama kita perdengarkan dan tidak terbantahkan pernyataan Kuasa Hukum M. Yahya (Dodi Arisona) bahwa tanah yang diklaim M.Yahya hanya sebagian saja atau tidak seluruhnya milik keluarga Giban," tutup salah seorang keluarga Giban.(red) 

Posting Komentar

0 Komentar